Skip to main content

Ngopi, Kapasitas dan Loyalitas

Semalam aku bertemu dengan salah satu sahabat dari generasi dua tingkat diatasku, satu tingkatan generasi aku hitung dari 1 periodesasi putaran perkuliyahan normal, empat tahun, jadi setidaknya dia 8 tahun lebih tua dariku. Kita ngopi bareng di sebuah warung kopi yang berada di depan kampus. Kita membicarakan hal-hal sederhana khas bahasan warung kopi. Seperti biasa, aku tidak ingin melewatkan kisah-kisah dari para pendahulu ketika punya kesempatan bertemu.  Demikian juga dengan seniorku yang satu ini, aku bertanya banyak hal seputar perjalananya mengukir sejarahnya di kampus dulu, waktu ia masih aktif berkuliyah dan menjadi mahasiswa yang aktif di luar kampus, sebuah jalan yang sama dengan yang aku pilih sekarang. Seperti yang lain, dia terlihat sangat semangat ketika menceritakan pengalamanya dulu.


Namun, biasanya  aku lebih suka mengamati sisi lain dari para pendahuluku itu. salah satu  yang paling menyedot perhatianku adalah loyalitas mereka yang sangat tinggi terhadap “rumah lama” mereka. Bahkan sampe jauh meninggalkan zaman dan makan-nya. Aku bangga dengan itu, namun juga bertanya-tanya. Apa yang mendasari mereka melakukan hal ini. Rela membagi waktunya yang bahkan padat untuk kembali “menengok”, dan tetap mengabdi pada generasi penerusnya. Menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk “rumah lamanya” melalui kami-kami yang bahkan baru kenal beberapa waktu saja. Agak sulit memang untuk merasionalisasikanya, menurutku. Aku yakin kalau mereka juga memiliki pertimbangan dan alasan yang masuk akal, dan mungkin juga cerdas karena banyak diantara yang aku amati sudah melewati jenjang pendidikan tertinggi, S3 atau bahkan professor. 

Dan alasan yang paling sering aku terima, dari pertanyaan yang sama yang aku ajukan pada mereka, adalah: mereka melakukan semua itu karena ingin mencicil untuk BAYAR HUTANG. Hutang yang kata mereka tidak akan pernah sanggup terbayarkan sampai kapanpun. Karena begitu banyaknya yang deberikan “rumah” ini kepada mereka. Namun mereka- setidaknya-mempunyai keinginan untuk terus mencoba membayar. Membayar apa yang telah mereka dapatkan dengan apa saja yang mereka miliki saat ini. Walau mereka, rata-rata, sebenarnya juga sudah memiliki keluarga yang menjadi tanggung jawab.

dalam hati aku bergumam, sampaikah aku nanti pada titik itu. titik yang menurutku adalah sebagai muara paling ahir dari perjalanan seorang aktivis, yang mungkin sudah lebih tepat disebut sebagai mantan aktivis. Dengan segala sesuatu yang disandang dan dipikulnya, tetap menunjukkan kommitmen dan loyalitas yang luar biasa. Aku ingin, dan aku berharap, semoga.

Comments

Popular posts from this blog

Bangun pagi

Pagi, meski tak lagi pagi karena matahari yang sudah meninggi Sunyi, masih tetap saja sunyi, hanya suara tv, sepi Bukan, air sudah beriak teriak lewat keran kecil Mesin-mesin juga sudah meraung-raung Wanita-wanita paruh baya sudah ramai, entah apa Bapak-bapak juga berkumpul di sisi lain, tapi tak banyak bicara Tapi lagi, kenapa masih sepi.. Atau aku yang terisolasi Mengisolasi?

Teori Empirisme

Lingkungan adalah salah satu hal pokok yang mempengaruhi kulaitas hidup seorang manusia, meski bukan satu-satunya - karena masih ada faktor bawaan atau yang biasa disebut faktor genetik-, namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa lingkungan sangat berpengaruh dalam perkembangan seorang manusia. Bahkan pada abad pertengahan, seorang filsuf dan pakar pendidikan asal Inggris, John locke (1632-1704) mengeluarkan sebuah teori yang dinamakan dengan teori empirisme, teori ini menyatakan bahwa manusia di lahirkan didunia dalam keadaan seperti kertas putih yang masih kosong (tabularasa,locke), dan yang mengisi kertas itu pada nantinya adalah pengalaman-pengalaman yang dialami seorang anak tersebut hingga anak itu menjadi dewasa. Pengalaman-pengalaman itu bisa didapat secara langsung, atau ditularkan orang lain, misalnya melalui sekolah atau bantuan buku-buku yang dibaca oleh seorang anak tersebut.

Bahasa, Sastra dan Keindahan

Ketepatan dalam menggunakan bahasa akan sangat membantu tersampaikanya sebuah pesan secara maksimal, begitu juga sebaliknya, ketika bahasa yang digunakan itu kurang - atau bahkan tidak - tepat, maka pesan yang disampaikan akan - bisa jadi - berbeda dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan. Tidak terlalu sulit memang untuk memilih bahasa yang  mudah dan dapat dipahami orang lain, meski kadang ada beberapa orang yang merasa kesulitan dalam hal ini.